Sebagian besar industri perunggasan di dunia, termasuk di Indonesia, didominasi oleh model kemitraan usaha (contract farming) dengan berbagai variasinya. Dasar dari kemitraan usaha di sini adalah pendekatan ekonomi transaksi (transaction costs economics, TCE). Dalam pendekatan ini, basis yang digunakan adalah kontrak (contract) atau transaksi tunggal antara dua pihak yang melakukan hubungan ekonomi. Kontrak dalam pengertian umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, di mana ada tindakan balasan (resiprocal action).
Menurut Eaton dan Shepherd (2001), contact farming bisa dikelompokkan menjadi lima, yaitu sebagai berikut.
1. Centralized model, yaitu model contract farming yang bersifat vertikal, di mana sponsor membeli produk dari petani, kemudian memprosesnya, dan memasarkannya.
2. Nucleus estate model, merupakan variasi dari model terpusat. Dalam model ini, sponsor-sponsor dari proyek juga memiliki dan mengatur areal perkebunan/lokasi peternakan yang biasanya dekat dengan pabrik pengolahan.
3. Multipartite model, yaitu model contract farming yang biasanya melibatkan badan hukum dan perusahaan swasta yang secara bersama berpartisipasi bersama para petani.
4. Informal model, yaitu model yang biasanya diaplikasikan terhadap wiraswasta perseorangan atau perusahaan kecil yang biasanya membuat kontrak produksi informal yang mudah dengan para petani berdasarkan musiman.
5. Intermediary model. Model contract farming ini merupakan gabungan dari model-model sebelumnya.
Menurut Daryanto dan Saptana (2009), di industri perungasan, ada tiga bentuk contract farming yang selama ini dijalankan di Indonesia. Ketiga bentuk contract farming sebagai berikut.
1. Contract farming perusahaan peternakan dengan peternak rakyat. Model dari kemitraan usaha ini adalah pola inti rakyat (PIR). Kewajiban dari perusahaan ini di sini adalah menyediakan bibit ayam (day old chick, DOC); menyediakan pakan dari produksi perusahaan inti; menyediakan vaksin dan obat-obatan; menyediakan input-input lainnya, seperti pemanas; melakukan bimbingan dan pengawasan melalui tenaga teknisi dan supervisor; serta menampung dan memasarkan seluruh hasil produksi. Sementara peternak plasma berkewajiban menyediakan lahan dan kandang dengan kapasitas 4.000—6.000; menyediakan tenaga kerja; menyediakan bahan pemanas, misalnya minyak tanah atau batu bara; menyediakan litter, misalnya sekam; menyediakan listrik; menyediakan air bersih; menjamin keamanan usaha; serta menjual seluruh hasil produksinya ke perusahaan inti.
2. Contract farming antara poulty shop dengan peternak rakyat. Pada model contact farming ini, kewajiban antara poultry shop dan peternakn rakyat hampir sama dengan model contract farming sebelumnya. Hanya saja, kapasitas kandang tidak sebesar pada model contract farming yang pertama. Beberapa aturan juga terkadang berbeda antara poultry shop satu dengan lainnya, tergantung pada kebijakan intern.
3. Contract farming antara peternak besar dengan peternak rakyat. Kewajiban peternak besar dan peternak kecil di sini serupa dengan model contract farming lainnya. Namun, skala usaha yang diinginkan oleh peternak besar pada peternak rakyat di sini berkisar 2.500—10.000 ekor.
Pengunjung
Blog Archive
Hanya Kantin
Media Informasi
FLU. Powered by Blogger.
PEDULI AGRIBISNIS
Artikel Populer
-
ASEAN (Association of South East Asian Nations) 1) Sejarah ASEAN ASEAN adalah organisasi regional dari negara-negara Asia Tenggara. O...
-
A. Konsep Teori Pengendalian dan Penduduk Pengertian Pengendalian Pengendalian menurut Ussy dan Hammer (1994:5), mengemukakan bah...
-
A. Nilai Agronomis dan Ekonomis Kacang Hijau Kacang hijau memiliki kelebihan dibandingkan dengan jenis kacang lain seperti kacang tanah d...
Tentang Saya
Nama : Fuad Lukman (FLU)
Tempat/Tgl Lahir: Kota Palopo/18 November 1985
Riwayat Pendidikan:1. SDN Monginsidi Makassar
2. SMPN 3 Makassar
3. SMU Kartika Chandra Kirana 71 (KachaK)
4. Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Universitas Hasanuddin