Konsep dan Keunggulan Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Sapi Potong


      Ciri utama integrasi tanaman ternak adalah adanya sinergisme atau keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman ternak sapi potong. Petani memanfaatkaan kotoran ternak sebagai pupuk organik untuk tanamannya, kemudian memanfaaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak.  Pada model integrasi tanaman-ternak, petani mengatasi permasalahan ketersediaan pakan dengan memanfaatkan limbah tanaman seperti jerami padi, jerami jagung, limbah kacang-kacang, dan limbah pertanian lainnya. Terutama pada musim MK, limbah ini bisa menyediakan pakan berkisar 33,3 persen dari total rumput yang dibutuhkan (Kariyasa, 2003).  Kelebihan dari adanya pemanfaatan limbah adalah disamping mampu meningkatan “ketahanan pakan” khususnya pada MK, juga mampu menghemat tenaga kerja dalam kegiatan mencari rumput, sehingga memberi peluang bagi petani untuk meningkatkan jumlah skala pemeliharaan ternak.
              Pemanfaatan kotoran sapi sebagai pupuk organik disamping mampu menghemat penggunaan pupuk anorganik, juga sekaligus mampu memperbaiki struktur dan ketersediaan unsur hara tanah.  Dampak ini terlihat dengan meningkatnya produktivitas lahan. Hasil kajian Adnyana, et al. (2003). menunjukkan bahwa model CLS yang dikembangkan petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur mampu mengurangi penggunaan pupuk anorganik 25 – 35 persen dan meningkatkan produktivtas padi 20 – 29 persen. Hasil temuan serupa pada kajian Bulu et al. (2004) di Provinsi NTB bahwa model CLS yang diterapkan petani mampu meningkatkan pendapatan sekitar 8,4 persen. Hasil temuan di atas diperkuat oleh Model CLS yang diterapkan petani di Bali, terbukti juga mampu menghemat pengeluaran biaya pupuk sekitar 25,2 persen dan  meningkatkan pendapatan petani sebesar 41,4 persen (Sudaratmaja et al. 2004). Demikian juga hasil kajian Suwono et al. (2004) di Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa semua petani mengatakan penggunaan pupuk organik mampu mengurangi penggunaan pupuk anorganik, walaupun dalam prakteknya petani tidak menurangi penggunaan pupuk anorganik secara signifikan.
         Dari aspek peningkatan produksi dan pendapatan petani, hasil kajian empiris Kariyasa dan Pasandaran (2004) di tiga provinsi (Jateng, Bali, dan NTB) menunjukkan bahwa usahatani padi yang dikelola tanpa dipadukan dengan tanaman ternak sapi mampu berproduksi sekitar 4,4 – 5,7 ton/ha, sementara usahatani padi yang pengelolaannya dipadukan dengan ternak sapi potong mampu berproduksi sekitar 4,7 – 6,2 ton/ha.   Artinya usahatani padi yang pengelolaannya dipadukan dengan ternak atau yang menggunakan pupuk kandang mampu berproduksi sekitar 6,9 - 8,8 persen lebih tinggi dibanding usahatani padi yang dikelola secara parsial tanpa menggunakan pupuk kandang.
Dari sisi biaya, usahatani yang dikelola secara terpadu dengan ternak sapi hanya membutuhkan biaya pupuk sekitar Rp 500 ribu – Rp 600 ribu/ha, sedangkan yang dikelola secara parsial membutuhkan biaya pupuk berkisar Rp 621 ribu – Rp 733 ribu/ha.  Dengan kata lain, penggunaan pupuk kandang pada usahatani padi yang dikelola secara  terpadu mampu menghemat  pengeluaran biaya pupuk sekitar 18,14 – 19,48 persen atau sekitar 8,8 persen terhadap total biaya.
           Usaha ternak yang dikelola secara terpadu dengan usahatani padi yaitu dengan memanfaatkan jeraminya sebagai pakan hanya membutuhkan biaya tenaga kerja berkisar Rp 410 ribu – Rp 889 ribu per ekor, sedangkan usaha ternak sapi yang dikelola secara parsial (tidak menggunakan jerami) membutuhkan biaya tenaga kerja berkisar Rp 735 ribu – Rp 1.377 ribu per ekor.   Dengan kata lain usaha ternak yang memanfaatkan limbah pertanian mampu menghemat biaya tenaga kerja berkisar 35,44 - 44,22 persen, atau berkisar 5,26 - 6,38 persen terhadap total biaya usaha ternak.
            Dari aspek permintaan pasar, ada kecenderungan konsumen akan lebih suka memilih produk-produk pertanian organik (menggunakan pupuk organik dan bebas pestisida) sekalipun dengan harga yang jauh lebih tinggi, karena pertimbangan kesehatan. Sebagai contoh, saat ini telah dipasarkan beras organik di super/hiper market dengan harga yang cukup tinggi (Rp 18.000 – Rp 20.000/kg), sementara beras rojelele dan pandanwangi yang diproduksi dengan secara anorganik baru dihargai sekitar Rp 5000/kg, sedangkan harga beras IR-64 hanya sekitar Rp 2.500-3000/kg. Jika harga ini dikonversi ke harga GKP, maka akan diperoleh harga gabah IR-64 ditingkat petani Rp 1200/Kg dan harga gabah Rojelele/Pandanwangi Rp 2000/kg, sementara harga gabah organik bisa mencapai Rp 7.200-8.000/kg. Dengan harga efektif (pesimis) di tingkat petani hanya sebesar 50 persen (Rp 3.600-4.000/kg) saja, maka pendapatan petani bisa meningkatan 2-3 kali dari sekarang (asumsi produktivitas dan biaya produksi relatif bersaing).

This entry was posted in

Leave a Reply

Translate