Dalam proses pembangunan pertani-an (seperti revolusi hijau), dalam konteks so-siologi pedesaan, petani sebagai “wong cilik” malah sesungguhnya tidak terlibat, karena revolusi hijau justru ‘meninggalkan’ kaum pe-tani. Dengan pendekatan teori dependensi, terbukti bahwa telah terjadi proses ketergan-tungan petani terhadap pupuk sebagai dampak dari program pemupukan intensif dan pemakaian bibit unggul dalam program Bimas, Insus sampai Supra-Insus, sehingga terjadi penurunan (keterbelakangan) penghasilan petani. Dalam hal ini, bisa jadi petani hanya merupakan korban pembangunan pertanian tersebut.
Meski demikian, tidak dipungkiri bahwa di sisi lain, terdapat berbagai dampak positif revolusi hijau, dimana program tersebut setidaknya berusaha melibatkan petani kecil yang diupayakan agar mampu mengadopsi berbagai program pembangunan pertanian. Bahkan proporsi terdasar yang hendak dijang-kau adalah petani dengan luasan lahan < 0,5 ha. Sajogyo (1993) menegaskan bahwa pem-bangunan pertanian yang dilaksanakan pemerintah salah satunya mampu membawa hasil swasembada beras bagi negara Indonesia pada tahun 1984. Dikemukakan pula bahwa, terjadinya ketimpangan penguasaan lahan dan pendapatan salah satunya lebih dikarenakan perbedaan akses antar golongan petani terhadap modal dan teknologi (terkait kemampuan SDM antar wilayah/lokasi).
Sementara itu, proses polarisasi yang sangat cepat yang dialami masyarakat petani disebut White sebagai proses eksploitasi (penghisapan) dari golongan kapitalis terhadap masyarakat di bawahnya. Petani, dari segi ekonomi, dilihat berdasarkan kemampuan mereka untuk dapat menghasilkan pendapatan berdasarkan sekian liter beras. Dari segi struk-tur sosial, petani merupakan kelompok masyarakat dengan klasifikasi paling bawah, seperti juga halnya para nelayan. Hal ini turut dipacu oleh pertumbuhan populasi (angkatan kerja, migrasi) dan perkembangan teknologi, akhirnya menempatkan kaum petani pada posisi yang lemah. Penetrasi ekonomi kapitalis ke pedesaan berupa penerapan teknologi modern dan sistem pasar yang mengutamakan efisien serta perubahan nilai ekonomi lahan, menyebabkan tingginya konversi tanah dari pertanian ke non-pertanian. Hal ini mengakibatkan hilangnya kesempatan bertani bagi sebagian besar buruh tani, serta semakin longgarnya ikatan-ikatan sosial yang terjalin dalam masyarakat pedesaan. Dampak sosiologis lain ekonomi kapitalis tersebut mempengaruhi tujuan produksi petani, strategi, nilai dan norma, serta orientasi hidup, bahkan kemungkinan untuk terjadinya proses depeasantisasi akibat makin merebaknya iklim konsumtif yang merambah hingga ke pedesaan.
Berbagai perubahan yang muncul setidaknya menunjukkan keterkaitan petani dengan globalisasi sistem ekonomi dunia, sebagai akibat proses adaptasi ketika mereka terintegrasi dalam sistem ekonomi global, serta mempengaruhi sistem ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini juga mencerminkan perubahan sosial petani yang masih dinaungi dimensi struktural.