oleh: Fuad Lukman
Menurut Scott (1981), persoalan yang berlaku pada masyarakat pedesaan adalah rasionalitas sosial yang lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan. Penetrasi dari luar, baik menyangkut aspek kelembagaan maupun teknologi justru akan menimbulkan resistensi. Selama ini permasalahan proses pembangunan pedesaan adalah tidak terbangunnya kelembagaan sektor ekonomi sebagai instrumen untuk mengatasi kelangkaan modal (lack capital) di wilayah pedesaan. Menurut Syahyuti (2004) peran kelembagaan dalam pembangunan pedesaan merupakan pintu masuk agar suatu lembaga dapat berdiri dan diterima, khususnya di dalam aspek ekonomi. Dalam perspektif pembangunan (Booke, 1983) menyimpulkan bahwa perekonomian di Indonesia terbagi dalam dua sektor, yaitu tradisional dan modern yang tidak saling berhubungan. Booke menyatakan bahwa sektor tradisional perlu dirangsang dengan adanya instentif ekonomi dan peningkatan teknologi produksi. Namun sebaliknya, Greetz dalam Marshus menyatakan upaya perbaikan macam apapun tidak akan berhasil dilakukan. Revitalisasi kelembagaan ekonomi dinilai penting, agar kelembagan ini bisa kembali terlegitimasi dalam setiap individu yang berada didalamnya, bisa menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging), jika rasa memiliki ini sudah muncul, setiap individu akan berpartisipasi dan kelembagaan ini akan berkembang sehingga potensial untuk bisa mensejahterakan masyarakat karena didalamnya sudah ada pembagian peran dan tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
Berdasarkan perkembangan pembangunan pedesaan yang terjadi selama beberapa dekade ini, terlihat bahwa fase-fase tersebut mengidentifikasikan proses komersialisasi pedesaan. Maka itu diperlukan upaya agar penduduk pedesaan bisa lepas dari komersialisasi ini, yaitu dengan cara menguatkan sistem produksi dan pengolahan yang berbasis tradisional sehingga masyarakat pedesaan tidak melulu ada dalam posisi subordinat. Persoalan ini sebenarnya dapat diatasi dengan adanya modal yang berputar di dalam sistem produksi dan pengolahan. Namun sayangnya keterbatasan modal merupakan persoalan paling rumit di wilayah pedesaan. Keterbatasan modal menyebabkan aktivitas ekonomi tidak berjalan, tidak berjalannya aktivitas ekonomi menyebabkan masyarakat berada dalam posisi subordinat tadi (Ellis dan Biggs, 2001: 439) Berbekal dari situasi ini, sudah seyogyanya para perumus kebijakan pembangunan pedesaan mengawinkan kelembagaan sektor finansial dengan kebijakan pemerintah agar mampu menggerakkan kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan, khususnya usaha mikro.
Yustika (2008) melihat secara umum persoalan lembaga keuangan di perdesaan dapat didentifikasikan menjadi tiga aspek berikut:
1. Masalah akses kredit
2. Posisi tawar dan informasi masyarakat perdesaan yang sangat rendah menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan formal maupun semi-formal
3. Informasi yang asimetris (asymmetric information) dari pemberi pinjaman/kredit terhadap peminjam (borrower).
Pada umumnya, lembaga keuangan di perdesaan dibedakan dalam tiga jenis: (i) lembaga keuangan formal; (ii) lembaga keuangan semi-formal; (iii) lembaga keuangan mikro. Lembaga keuangan dikatakan formal jika lembaga tersebut secara operasional diatur dalam Undang-Undang perbankan dan disupervisi oleh bank sentral. Sedangkan lembaga keuangan semi-formal adalah lembaga keuangan yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi dan diregulasi oleh agen pemerintah maupun bank sentral. LKM beroperasi di luar regulasi dan supervisi lembaga pemerintah. LKM bukan sekedar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transaksi, tetapi kadang-kadang menyediakan pinjaman dalam bentuk barang (in-kind), (Yustika, 2008). Karakter yang fleksibel, membuat LKM memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilayah pedesaan, karena LKM ini bersifat sangat fleksibel dalam artian memiliki hubungan personal antara kreditor dan debitor dan nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Tidak ada kontrak maupun persyaratan sejumnlah agunan seperti pada lembaga keuangan formal. Dengan segala kemudahan inilah lembaga keuangan mikro sangat diterima di kalangan perdesaan.
Berdasarkan perkembangan pembangunan pedesaan yang terjadi selama beberapa dekade ini, terlihat bahwa fase-fase tersebut mengidentifikasikan proses komersialisasi pedesaan. Maka itu diperlukan upaya agar penduduk pedesaan bisa lepas dari komersialisasi ini, yaitu dengan cara menguatkan sistem produksi dan pengolahan yang berbasis tradisional sehingga masyarakat pedesaan tidak melulu ada dalam posisi subordinat. Persoalan ini sebenarnya dapat diatasi dengan adanya modal yang berputar di dalam sistem produksi dan pengolahan. Namun sayangnya keterbatasan modal merupakan persoalan paling rumit di wilayah pedesaan. Keterbatasan modal menyebabkan aktivitas ekonomi tidak berjalan, tidak berjalannya aktivitas ekonomi menyebabkan masyarakat berada dalam posisi subordinat tadi (Ellis dan Biggs, 2001: 439) Berbekal dari situasi ini, sudah seyogyanya para perumus kebijakan pembangunan pedesaan mengawinkan kelembagaan sektor finansial dengan kebijakan pemerintah agar mampu menggerakkan kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan, khususnya usaha mikro.
Yustika (2008) melihat secara umum persoalan lembaga keuangan di perdesaan dapat didentifikasikan menjadi tiga aspek berikut:
1. Masalah akses kredit
2. Posisi tawar dan informasi masyarakat perdesaan yang sangat rendah menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan formal maupun semi-formal
3. Informasi yang asimetris (asymmetric information) dari pemberi pinjaman/kredit terhadap peminjam (borrower).
Pada umumnya, lembaga keuangan di perdesaan dibedakan dalam tiga jenis: (i) lembaga keuangan formal; (ii) lembaga keuangan semi-formal; (iii) lembaga keuangan mikro. Lembaga keuangan dikatakan formal jika lembaga tersebut secara operasional diatur dalam Undang-Undang perbankan dan disupervisi oleh bank sentral. Sedangkan lembaga keuangan semi-formal adalah lembaga keuangan yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi dan diregulasi oleh agen pemerintah maupun bank sentral. LKM beroperasi di luar regulasi dan supervisi lembaga pemerintah. LKM bukan sekedar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transaksi, tetapi kadang-kadang menyediakan pinjaman dalam bentuk barang (in-kind), (Yustika, 2008). Karakter yang fleksibel, membuat LKM memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilayah pedesaan, karena LKM ini bersifat sangat fleksibel dalam artian memiliki hubungan personal antara kreditor dan debitor dan nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Tidak ada kontrak maupun persyaratan sejumnlah agunan seperti pada lembaga keuangan formal. Dengan segala kemudahan inilah lembaga keuangan mikro sangat diterima di kalangan perdesaan.