Konsep Kelembagaan dalam Tinjauan Ekonomi



Selain dari kalangan ahli sosiologi, Kelembagaan juga dipelajari oleh ahli ekonomi berdasarkan sisi pandang mereka. Teori ekonomi seharusnya dilihat dalam kerangka yang lebih luas, karena dalam proses perkembangannya terjadi interaksi yang komplek dengan aspek alam, fisik, dan sosial, serta tatanan sosial. Perkembangan ekonomi kelembagaan diilhami oleh aliran neo Malthusian dan ekonomi teknik yang bersifat radikal. Dalam konsep mereka, cakupan analisis dalam ekonomi kelembagaan meliputi: (1) kemajuan teknologi (technical progress), (2) perusahaan multinasional (multinational enterprise), (3) berkembangnya blok-blok kekuasaan (power blocks); (4) permainan berjumlah nol (zero sum games); (5) perencanaan indikatif (indicative planning); dan (6) pendekatan indikatif untuk ekonomi kebijakan dan ekonomi ekologi (indicative approach to policy economics and ecology).
Perkembangan ekonomi kelembagaan ini sesungguhnya diawali seorang ahli ekonomi berkebangsaan Italia yang bernama Sismodi (1819) yang menolak teori dan metode ekonomi klasik Adam Smith. Bagi Sismodi kekayaan (wealth) berarti kesejahteraan manusia yang tidak hanya arti materiil lahiriah semata-mata, tetapi mengandung aspek non materiil. Sismodi tidak yakin akan kebenaran teori klasik dari Adam Smith yang mengatakan bahwa asalkan setiap unit ekonomi melakukan tindakan rasional dan mengusahakan posisi optimalnya, maka mekanisme pasar akan menghasilkan keadaan yang seimbang pada posisi optimal yang sama dengan full employment.
Pada awal abad ke-20, sejumlah ahli ekonomi di Amerika, yang sering disebut kaum intitusionalist antara lain Veblen, Commons, dan Mitchell serta beberapa ahli ekonomi Jerman seperti Muller dan List; mengikuti pendekatan yang sama dengan yang dilakukan oleh Sismondi (Soule, 1994). John R. Commons dalam History of Labor in The United State (1918) menguraikan tentang kelembagaan perburuhan. Commons juga mempelajari lembaga-lembaga penting lainnya yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, seperti lembaga keuangan dan perbankan dengan efek inflasioner dan deflasionernya (dalam buku Institutional Economics, 1936). Isi buku tersebut adalah pentingnya kerjasama setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Untuk menghindari konflik antara kepentingan individu dan kepentingan bersama dengan apa yang disebut “pengendalian bersama” (colective controls), yang mempunyai tugas dalam mengawasi proses tawar-menawar dan harga serta transaksi yang dijalankan oleh para manajer dan rationing (penjatahan).
Tinjauan kelembagaan dalam sistem ekonomi, menurut Shaffer dan Schmid (1960), merupakan sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya. Dipandang dari sudut individu, kelembagaan sebagai gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya.
Pakpahan (1989) mengemukakan suatu kelembagaan dicirikan oleh 3 hal utama: (1) batas yurisdiksi (yurisdiction of boundary); (2) hak kepemilikan (property right); dan (3) aturan representasi (rule of represen-tation). Batas yurisdiksi berarti hak hukum atas (batas wilayah kekuasaan) atau (batas otoritas) yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna keduaduanya. Penentuan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi atau masyarakat ditentukan oleh batas yurisdiksi. Perubahan batas yurisdiksi akan menghasilkan performance yang diinginkan, ditentukan oleh empat hal, yaitu: perasaan sebagai satu masyarakat (sense of community), eksternalitas, homogenitas, dan skala ekonomi (economic of scale).
Konsep property atau pemilikan sendiri muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligations) yang diatur oleh hukum, adat, dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya (Pakpahan, 1990). Tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak milik tanpa pengesahan dari masyarakat di mana dia berada. Hak kepemilikan juga merupakan sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya2 Hak kepemilikan atas lahan (land right) pada kelembagaan adat setempat yang berkaitan dengan lahan dapat dilihat pada hak masyarakat baik secara kelompok (comunal) maupun secara individu (private) dalam pengaturan, penggunaan, dan pemeliharaan sumberdaya lahan. Disamping hak, juga ada kewajiban-kewajiban berupa pembayaran pajak, iuran untuk desa atau adat, serta gotong royong yang dikaitkan dengan kepemilikan atas sumberdaya lahan tersebut.
2 Diuraikan oleh Schmid (1960 dalam Zakaria dan Waluyo, 1999).
Aturan representasi (rule of representation) mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya. Dipandang dari segi ekonomi, aturan representasi mempengaruhi ongkos membuat keputusan. Ongkos transaksi yang tinggi dapat menye-babkan output tidak bernilai untuk diproduksi. Oleh karena itu, perlu dicari suatu mekanisme representasi yang efisien sehingga dapat menurunkan ongkos transaksi. Tubbs (1984) dan Hanel (1989) menyatakan bahwa pengambilan keputusan atas dasar group process akan meningkatkan loyalitas, kerja-sama, motivasi, dukungan anggota pada pimpinan dan mengurangi tekanan internal serta biaya transaksi yang pada akhirnya akan meningkatkan performa organisasi.

This entry was posted in

Leave a Reply

Translate